Berbicara tentang kematian selalu mendatangkan perasaan tidak nyaman. Peristiwa ini selalu hadir diruang media, maupun kita saksikan langsung ,apakah itu berita kematian seorang tokoh karena sesuatu penyakit ,bencana alam, kecelakaan , akibat tindakan kriminal , bunuh diri dan sebab-sebab lain. Perasaan perih sedih , terharu pilu, selalu mengiringi , karena perisriwa itu merenggut segala kenikmatan, kegembiraan , kehangatan keluarga yang selama ini dimiliki. Sering kita saksikan seorang ibu muda dengan menggendong anaknya , jatuh pingsan disaat pemakaman sang suami yang kematiannya bigitu datang tiba-tiba dalam suatu kecelakaan.
Kita yang hidup dan dalam posisi bukan dari keluarga yang berkabung , sesuai anjuran agama dan kelaziman bermasyarakat selalu datang melayat, menghibur keluarga yang meninggal. Dalam posisi ini kita banyak membicarakan , tentang sebab-sebab kematian almarhum , mengapa dan bagaimana dengan segala bumbu analisa sebagai bagian dari ungkapan rasa simpati. Dalam asyiknya kita mebicarakan itu terkadang memberi kesan bahwa kita “tidak akan pernah mengalami “. Manusia sesuai nalurinya cenderung pada kenikmatan , selalu berusaha untuk hidup terus-menerus seperti kata Chairul Anwar “Aku mau hidup seribu taun lagi”.
Karena imagenya yang selalu memunculkan gambaran kesakitan ,kesedihan, kengerian, kegelapan dan horor, sengaja tidak sengaja kita berusaha menghindar dari membicarakan kematian dan bahkan mengingatnya, walaupun para ustaz, pendeta dan tokoh agama manapun selalu menganjurkan ini sebagai bagian upaya introspeksi diri. Padahal suatu kepastian bahwa semua mahluk tidak bisa menghindar dari kedatangan tamu tak diundang yang bernama “ kematian “. Disamping itu ,salah dalam memahami “ingat mati” bisa berakibat orang tidak produktif tidak mau berbuat apa-apa dalam hidupnya dan apatis atau malah aji mumpung.
Karena kematian suatu yang pasti dan tidak bisa dihindari dan tidak bisa diduga , sehingga perlu upaya kita bagaimana memaknainya dan bersikap agar ia menjadi suatu yang memberi rasa damai, bahagia dan membuat kita lebih produktif serta bersemangat bukan sebaliknya membuat ketakutan dan mengganggu konsentrasi dalam beraktifitas.
Semua agama dan keyakinan kecuali yang atheis , meyakini adanya kehidupan setelah kematian sebagai bentuk pertanggungjawaban manusia atas apa yang diperbuatnya selama hidup. Berlaku hukum siapa menanam ia akan menuai. Yang menanam kebajikan akan menuai kebajikan pula di alam keabadian yang namanya akherat, demikian sebaliknya. Ketakutan akan kematian ini bisa jadi akibat kesadaran bahwa selama ini yang ditanam keburukan, kemungkaran ,menjalimi orang melalui tangan, lidah dan fikirannya. Sehingga selalu dibayangi ketakutan khawatir ,besok lusa dipanggil padahal belum sempat berbenah diri ,bertobat minta maaf dengan orang yang pernah disakiti.
Bagi orang yang sepanjang hidupnya menjaga lisan dan tangannya dari kemungkaran, dan selalu menebar kebajikan kepada semua orang , menghadapi datangnya kematian sama dengan menunggu datangnya panen dari bibit yang ditanamnya. Orang seperti ini akan sangat produktif, mulai bangun pagi , diperjalanan menuju tempat kerja , dikantor dimana saja ia bekerja, sekecil dan sesederhana apapun yang dilakukan selalu bernilai kebajikan, memberikan manfaat bagi lingkungannya jauh dari menyakiti . Menghadapi kemacetan dijalan terhindar dari mengumpat, mencaci maki tidak jelas justru membuat stress sendiri . Sebagai gantinya , mungkin berfikir positif nanti juga akan lancar lagi, sambil melihat sekeliling dan melempar senyum misalnya ke teman sebelahnya yang sama-sama sedang menikmati kemacetan.
Dalam bekerja lebih bersemangat karena dorongan memberi manfaat dan menanam kebajikan, bukan motif-motif yang rendah dan bersifat fana. . Kita perlu bercermin dengan tokoh “negawaran” yang diangkat oleh acara Kick Andy . Mereka orang-orang yang penuh dedikasi jauh dari pamrih murahan, popularitas, materi status sosial yang bersifat fana. Si “Suster apung” sangat total dalam pengabdiannya menolong warga di kawasan yang jauh dari jangkauan fasilitas kesehatan. Dalam keterbatasanya membantu pasien sampai-sampai mengambil resiko menggunakan infus kadaluarsa untuk sebuah nyawa. Seorang bapak saya lupa nanamya yang bergerak di dunia pendidikan salah satu tamu Kick Andy, ditanya apa rencana nya kedepan , jawabnya sederhana “saya mau masuk surga”. Mereka orang –orang yang produktif menanam bibit kebajikan dilahan alam keabadian. Saya pribadi kadang-kadang merasa malu pada diri sendiri, tapi sekali gus bersyukur masih banyak tokoh “elit bangsa” sejati menjadi inspirasi kita.
Ingat kematian’ menanamkan kesadaran tidak ada yang kekal di alam materi yang namanya dunia ini. Segala kenikmatan , harta, keluarga, jabatan popularitas suatu saat akan berakhir. Kesadaran ini meningkatkan ketahanan mental dalam menghadapi suatu keadaan yang tidak menyenangkan dalam bentuk kegagalan misalnya. Nyaleg gagal tidak akan berakibat pada gangguan kejiwaan, karena meyakini baik kegagalan maupun kesuksesan tidak abadi. Gagal sekarang bukan akhir segala-galanya , sebaliknya kalau sekarang meraih sukses juga siap mental untuk suatu saat akan ditinggalkan.Yang penting dalam proses berjuang dengan dasar niat yang baik bertolak dari visi ukhrawi jauh melampaui alam materi. Kalau sudah dimulai dengan niat yang baik dan visi yang benar , kalaupun tidak berhasil sudah dicatat sebagai suatu kebaikan oleh Tuhan. Kalau begini hidup menjadi indah, tidak ada peluang untuk bersedih.Itu yang dimiliki oleh tokoh-tokoh pejuang kita masa lalu.
Kematian yang datangnya tidak bisa diramal, sepuluh tahun lagi, satu tahun, satu bulan bahkan satu detik kedepan tidak ada yang menjamin kita masih ada, memunculkan pertanyaan bagaiman menyikapinya.. Apakah membiarkan perasaan kita dalam ketakutan, atau mencoba melupakannya . Cara yang paling baik menyikapi ini ,adalah dengan memaksimalkan “kekinian” dan “kedisinian” untuk menanam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar